☘?Menampakkan dan Menyembunyikan Amal Shalih, Keduanya Mulia!?☘

 

????????

Perhatikan ayat-ayat berikut ini:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al Baqarah 274)

Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah menerangkan:

Ini adalah sanjungan dari Allah Ta’ala bagi para pelaku infak dijalanNya, dan orang yang mencari ridhaNya disemua waktu, baik malam dan siang, dan berbagai keadaan baik tersembunyi atau terang-terangan, sampai – sampai nafkah kepada keluarga juga termasuk dalam kategori ini. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/707. Cet. 2. 1999M/1420H. Daruth Thayyibah.)

Ayat lainnya:

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (QS. Ar Ra’du: 22)

Ayat lainnya:

قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خِلَالٌ

Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS. Ibrahim: 31)

Lihat ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan berinfak baik secara sembunyi atau terang-terangan, Allah Ta’ala tidak memerintahkan yang sembunyi saja, tapi juga memerintahkan yang terang-terangan. Tidak mencelanya, justru memerintahkannya.

Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

وأمر تعالى بالإنفاق مما رزق في السر، أي: في الخفية، والعلانية وهي: الجهر، وليبادروا إلى ذلك لخلاص أنفسهم

Allah Ta’ala memerintahkan untuk berinfak secara as sir, yaitu tersembunyi, dan al ‘alaaniyah yaitu ditampakkan, dan hendaknya mereka bersegara melakukan itu untuk mensucikan diri mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/510. Cet. 2. 1999M/1420H. Daruth Thayyibah)

(Maka sangat penting bagi kita menjaga niat,Lillahi ta’ala,hanya karena Allah, baik beramal sembunyi atau terang-terangan)

Terang-terangan atau tersembunyi, keduanya bisa dilakukan pada amal yang wajib atau sunah. Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah:

{سِرًّا وَعَلانِيَةً} وهذا يشمل النفقة الواجبة كالزكاة ونفقة من تجب عليه نفقته، والمستحبة كالصدقات ونحوها.

(Tersembunyi dan terangan-terangan) hal ini mencakup infak yang wajib seperti zakat, dan nafkah kepada orang yang wajib baginya untuk dinafkahi, dan juga yang sunah seperti berbagai sedekah dan semisalnya. (Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, Hal. 426. Cet. 1. 2000M/1420H. Muasasah Ar Risalah)
 
Maka, berinfak –atau amal shalih apa saja- yang dilakukan secara tersembunyi dan menampakkannya, telah dimuliakan, dipuji, dan dianjurkan oleh Allah Ta’ala. Janganlah hawa nafsu manusia justru menganggap tercela yang satu dibanding yang lainnya. Jika tersembunyi, maka itu mulia karena hati Anda lebih selamat dari ‘ujub, riya’, jika terkait sedekah maka orang yang menerima sedekah tidak merasa malu menerimanya. Jika terang-terangan, maka itu juga mulia, karena Anda bisa menjadi pionir kebaikan, menjadi contoh buat yang lain, sehingga selain Anda mendapatkan pahala sendiri, Anda juga mendapatkan pahala mereka lantaran mereka mengikuti kebaikan Anda.

? Melaporkan dan menceritakan amal shalih, adalah riya?

                Hal ini tidak mengapa, sebagaimana seorang guru yang menanyakan hasil kerjaan, tugas hapalan, siswanya dan si guru memberikan batas waktu. Ini adalah tuntutan profesionalitas dalam beramal. Ini pun dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Tidak mengapa menulis nama dalam list penyumbang, atau laporan masjid, sebab ini termasuk yang dibolehkan oleh syariat sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita tentang amal shalihnya:

وإني لأستغفر الله، في اليوم مائة مرة

Aku benar-benar beristighfar kepada Allah dalam sehari 100 kali. (HR. Muslim, 2702/41)

Riwayat lainnya:

يا أيها الناس توبوا إلى الله، فإني أتوب، في اليوم إليه مائة، مرة 

Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya dalam sehari aku bertaubat kepadaNya seratus kali. (HR. Muslim, 2702/42)

Para sahabat pun juga. Perhatikan dialog berikut ini:

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Siapakah diantara kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini mengantar janazah?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda : “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim No. 1028)

Inilah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, dia tidak perlu malu untuk melaporkan apa yang sudah dia lakukan hari itu, setelah Nabi bertanya. Maka, tidak masalah seseorang menceritakan amalnya, yang penting tidak bermaksud memamerkannya, dan membanggakannya, tetapi agar orang lain mendapatkan ‘ibrah (pelajaran) darinya. Pendengar pun tidak dibebani untuk membedah hati orang yang melaporkannya. Itu tidak perlu, tidak penting, dan tidak masyru’. Justru, yang masyru’ adalah kita mesti husnuzhzhan kepadanya.

Para ulama mengatakan:

إحسان الظن بالله عز وجل وبالمسلمين واجب

Berprasangka yang baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kaum muslimin adalah wajib. (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 29/325)

Kisah lainnya:

Dari Jabir bin Abdullah katanya: “Saya diperintahkan nabi untuk datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya berbicara lagi dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan bacaan shalat beliau terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan kepala. Setelah beliau selesai shalat beliau bertanya: “Bagaimana tugasmu yang padanya kamu saya utus? Sebenarnya tak ada halangan bagi saya membalas ucapanmu itu, hanya saja saya sedang shalat.” (HR. Muslim No. 540, Ahmad No. 14345, Abu Daud No. 926, Abu ‘Awanah, 2/140, Ibnu Khuzaimah No. 889, Ibnu Hibban No. 2518, 2519)

Dalam kisah ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta laporan kerja dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu tanpa harus khawatir riya-nya Jabir jika dia melaporkannya.

Banyak sekali kitab yang menceritakan para ulama yang berkisah tentang ibadahnya, shaumnya, shalatnya, jihadnya, bahkan mimpinya. Tentu kita berbaik sangka, jangan menuduh mereka telah riya dalam penceritaannya.

?Hati-Hati! Menggembosi amal shalih saudaranya dengan menuduh riya adalah Akhlak Kaum Munafiq Terdahulu

Inilah yang terjadi, gara-gara seseorang menuduh saudaranya riya, atau menakut-nakuti dari menampakkan amal shalih, akhirnya perlahan-lahan ada yang membatalkan amal shalihnya karena takut disebut riya, takut tidak ikhlas.

Inilah yang dilakukan orang munafiq pada zaman nabi, mereka menuduh para sahabat riya, padahal mereka (kaum munafiq) sendiri yang riya.

Dari Abu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia bercerita:

“Sesudah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka Abu Uqail bersedekah dengan satu sha’, dan datang seseorang dengan membawa lebih banyak dari itu, lalu orang-orang munafik berkata:

“Allah ‘Azza wa Jalla tidak membutuhkan sedekah orang ini, orang ini tidak melakukannya kecuali dengan riya. Lalu turunlah ayat:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ

“Orang-orang munafik itu yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya.” (QS. At Taubah : 79). (HR. Al Bukhari No. 4668)

? Justru Allah Ta’ala menceritakan bahwa kaum munafikinlah yang riya

Perhatikan ayat ini:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6)

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. (QS. Al Ma’un: 4-6)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa ayat ini menceritakan tentang sifat-sifat orang munafiq; lalai dari shalatnya, sekali pun shalat dia riya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengulang sampai tiga kali ucapan: tilka shalatul munaafiq (itulah shalatnya kaum munafik). Sebagaimana disebutkan dalam Shahihain. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/493)

Wallahu A’lam

??????☘?

✏ Ust Farid Nu’man Hasan

KONTAK KAMI
Yayasan Generasi Insan Kaffah (Yayasan GIK)
  Jl.Madrasah. Gg.Galur. Griya Insani Kukusan, Blok C2.Kukusan Beji Depok
08128296734
g.insankaffah@gmail.com
DOKUMENTASI

PENGUNJUNG